Pages

Kamis, 07 April 2011

Cerpen Gelar Budaya 2010

pemenang Menulis cerpen Gelar Budaya 2010

 S  I  N  O  K
Nana Riskhi Susanti


“P
ercuma, pintunya dikunci!”
“Mereka kemana?” 
”Ke rumah sakit.”


”Ini aku juga mau ke sana, tapi kan mau ganti baju dulu.”
” ....”
”Kenapa memandangi aku seperti itu?”
”....”
Kepriben? kowen durung ngarti?”
”Apa maksudmu?”
Simbahmu ninggal..
Setiap aku melewati gang menuju rumahku, seringkali perasaan tidak enak ini muncul. Perasaan tidak enak? Lebih tepat jika aku sebut rasa takut. Ya, rasa takut pada Masmaut. Ini sebutanku untuk malaikat pencabut nyawa yang sering dikisahkan guru madrasahku. Sejak kecil, aku dan teman-temanku sering membayangkan dengan wajah sumringah sosok malaikat pencabut nyawa itu: Laki-laki berbadan seperti raksasa tapi tampan. Gang yang tidak sempit dan juga tidak lebar ini selalu menyampaikan bisikan Masmaut padaku: cepat pulang sebelum mereka pergi.
Setiap aku melewati gang menuju rumahku, perasaan takut ini muncul. Aku menatap lekat-lekat pandangan orang-orang, membaca kemungkinan, karena mereka adalah kejujuran yang bisa kulihat. Mereka selalu mengabarkan sesuatu dengan gerak-gerik yang bisa kutebak. Jika ayahku sedang ditagih hutang oleh lintah darat keparat, mereka akan menatapku jijik seolah-olah berkata: makan uang panas sih kamu! Jika ibuku menangis tersedu karena adu mulut dengan ayah yang suka selingkuh, maka mereka menatapku dengan berapi-api: gadis malang!
Kali ini, perasaan takut ini benar-benar menghujaniku. Aku takut terlambat pulang dan salah satu dari mereka yang aku cintai pergi. Aku membaca tanda, barangkali mereka mau memberi tahu apa aku masih beruntung atau tidak. Tapi tanda-tandanya aku tidak beruntung. Tidak seperti biasanya, mereka memandangku dengan muka memelas dan mengasihaniku. Bu Darti yang biasanya bermuka nisan pun malah menanyaku, kenapa baru pulang. Aku terus melangkah, melangkah, dan melangkah, mempercepat menuju rumah.
Kali ini Masmaut tidak berbisik, tapi berbicara: kamu terlambat pulang.

***

Pintu rumah masih terkunci. Aku sendiri.
”Tadi malam aku lek-lekan di rumah sakit. Simbahmu menanyakan anak dan cucunya semua.”
“....”
“Simbahmu pengen ketemu kamu tadi malam. Lima hari ini kamu tidak ke rumah sakit kan?”
”Iya.”
”Malah sibuk kencan!”
”Aku mencintai simbah melebihi yang Sampeyan tahu. Aku tidak menungguinya di rumah sakit karena aku sedang ujian.”
”Lebih berharga mana nilai rapotmu dengan nyawa simbahmu?
Sampeyan pasti bisa menjawab sendiri”
”Rapot?”
”Simbah!”
”Lha terus, kenapa tadi jawab: sedang ujian?”
”Saya ingin simbah bangga pada saya.”
Simbah, kenapa Masmaut tidak memberiku kesempatan untuk mengucapkan maaf padamu?
Dari arah selatan, mobil jenazah datang. Mereka datang membawa simbahku tercinta. Keluarga besarku satu per satu datang. Sebentar kemudian, mereka mulai menata persiapan pemakaman. Nisan, kain mori, dan kembang telon dibeli. Pak lebe dipanggil untuk memimpin salat jenazah dan prosesi pemakaman. Aku dan ibu tidak bisa melakukan apa-apa, selain hujan airmata. Aku terbawa ke masa lalu, kenanganku dari kecil hingga kini. Rekaman itu, berkelabat seperti film-film bioskop yang diputar bergantian.

***

Pemakaman dua jam lagi. Kembang telon mulai dicuci. Nisan mulai dinamai.
”Sabukku rusak! Beli dong Bu..”
“Ibu tidak punya uang!”
“Bapak…”
”Berisik!”
”Tapi kan nanti aku dihukum guru BK..”
”Kamu akan bapak hukum kalau terus meminta uang!”
”Berapa harga sabuk yang ingin kamu beli, Nok?”
”Sepuluh ribu, Mbah..”
”Ya sudah, besok beli, mbah kasih uang.”
Matur nuwun, Mbah.”
Terkadang, aku merasa jahat padanya. Ia janda dari pensiunan polisi hutan. Tiap bulan ia hanya menerima empat ratus ribu rupiah. Itu kalau selamat dari incaran budhe. Sebab budheku dua tahun ini menawarkan diri untuk mengantarnya mengambil uang pensiunan, lalu berobat tiap Jumat sore ke dokter Nani (dokter umum langganan simbahku yang mengerti betul penyakit komplikasi simbah). Padahal, akulah yang selalu menemaninya. Sejak aku berumur tujuh tahun, simbah selalu membawaku untuk menemaninya ambil uang pensiunan. Kami pakai becak. Pertama ke arah selatan, ke kantor perhutani. Selanjutnya ke arah utara, ke kantor pos kecamatan.
Sebetulnya, niat budhe memang baik, karena dia kan anak pertama dari simbah. Pasti ingin mbhakti pada ibunya. Keputusan budhe itu ternyata seperti udang di balik batu. Uang simbah selalu berkurang dua ratus lima puluh ribu. Ia cuma mengantongi seratus lima puluh ribu, itu pun hanya cukup untuk berobat. Ia menceritakan ini padaku. Hanya padaku kecurangan budhe boleh ia bagi, dan aku harus menjaga rahasia ini. Karena itulah, aku merasa jahat padanya kalau aku minta uang. Tapi apa boleh buat, ibuku tidak memberi uang karena bapak tidak memberi jatah. Untuk makan saja, saat ini, selalu pakai uang simbah. Jalan terakhir setelah hutang ibu menumpuk di bakul pasar.

***

Pemakaman satu jam setengah lagi. Kembang telon sudah dicuci. Nisan sudah dinamai.
”Bubur cadil, Mbah..”
”Nanti sebentar lagi. Kita subuhan dulu.”
”Baik...”
”Nok, kita ke pasar saja ya, sekalian simbah ingin jalan-jalan, menghirup udara segar.”
” Tapi aku beli jajan yang banyak ya?!”
Kami melangkah, lewat damparan rel kereta api. Rumahku memang dekat dengan jalur kereta api. Aku bersijingkat, berjalan meniti rel, menjaga keseimbangan, tapi tetap jatuh juga. Di atas rel itu, hidup berjuta-juta harapan bakul pasar. Mereka tidak punya pilihan lain untuk mengais rezeki kecuali menjajakan barang dagangan mereka di atas rel karena pasar terlalu sempit untuk jumlah pedagang yang beribu, sehingga ada yang harus rela berjualan di atas rel. Pasar tidak mampu menampung harapan mereka.
”Kalau ada kereta, mereka kasian dong Mbah.. nanti dibawa Masmaut di kereta...”
”Bakul-bakul itu pasti menepi kalau lonceng berbunyi.”
”Di atas rel ada Masmaut?”
”Malaikat ada di mana-mana. Di atas rel, di rumah, di sekolah, di tempat tidur, di jalan raya, bahkan di kedua pundakmu juga ada malaikat.”
”Kalau di sini sih malaikat pencatat amal baik dan buruk, bukan Masmaut.”
”Kamu pintar, Nok. Maksud mbah, kematian itu datangnya bisa di mana saja, kapan saja. Karena, malaikat pencabut nyawa yang kamu namai Masmaut itu tidak mungkin asal cabut. Ia menunggu perintah.”
”Tuhan?”
”Benar.”
”Kenapa Dia menyuruh Masmaut mencabut nyawa manusia?”
”Yang datang dari tanah, akan pulang ke tanah.”
”Kapan kita pulang ke tanah?”
”Kapan saja.”
Begitulah, di atas rel yang menghidupi harapan pedagang bawang, sayur-mayur, bumbu dapur, sapu ijuk, cabe, dan lainnya, aku dan simbah selalu bicara tentang apa saja.
”Mbah, itu ada bubur cadil!”
Kami membeli dua bungkus bubur cadil. Dan melanjutkan langkah di atas rel.

***

Pemakaman satu jam lagi. Tamu, kerabat, sanak saudara menciumi simbah untuk yang terakhir kali.
Tamasya bersama anak-anak TK ke Jogjakarta. Ibuku sedang hamil tua. Simbahlah yang mengantarku ke sana. Tanganku digandeng erat-erat, sejak keluar dari rumah hingga kembali ke rumah. Ia begitu menjagaku. Takut aku diculik, takut aku kesasar, takut aku hilang. Ia menyuapiku ketika aku lapar dalam bis. Tapi sebenarnya, aku tahu simbah sangat tersiksa ikut tamasya, karena perjalanan ke Jogja memakan waktu yang lama, sekitar 8 jam dari Tegal. Simbah dan aku sama-sama punya kebiasaan mabok di perjalanan. Tapi simbah begitu pandai menahan rasa sakitnya. Ia bilang, bahagia sekali bisa jalan-jalan bersama cucunya.
Kami sampai di Borobudur. Segera kami meniti tangga yang sangat tinggi itu. Aku menuntun langkah simbah, yang sudah renta. Di hati kami hanya ada cinta yang membara, sehingga sepegal apa pun kaki kami menapaki tangga yang tak rampung-rampung, kami tetap berbahagia. Sampai di atas, aku langsung mendekati stupa besar. Ada orang yang mendekatiku, dan bilang kalau tanganku sampai menyentuh lonceng stupa itu, segala permintaanku akan terkabul. Aku percaya waktu itu. Aku masukkan tangganku, mencoba memanjang-manjangkan lengan untuk meraih lonceng. Tapi tidak bisa, mataku meneropong ke dalam stupa lewat celah-celah stupa. Ternyata loncengnya masih empatkali lipat jauhnya dari tanganku. Aku tidak berhenti. Berkali-kali aku coba. Sampai aku jatuh dan simbah datang.
Simbah membawaku turun, karena tidak mau mitos tidak masuk akal itu membuatku terluka. Lalu kami naik kereta-keretaan di taman candi. Cuma ada dua kereta. Satu kereta berisi 3 rangkaian saja. Jadi, pengunjung yang ingin naik harus berebut. Kami menempuh jalan pintas, menyeberang tengah taman, melompati rumput perdu dan tanaman berduri yang tidak aku mengerti namanya hingga kakiku digigiti semut rang-rang (semut merah) yang menempel banyak sekali. Betapa sakitnya. Kata simbahku, ini adalah pengorbanan.

”Kalau mau meraih harapan, harus berkorban”
”Tapi kenapa tadi waktu aku berusaha meraih lonceng stupa itu simbah melarang?”
” Itu hanya mitos.”
”Aku ingin mewujudkan harapan”
”Itu keretanya, ayo cepat naik, mengko ora kebagian”

***

Pemakaman tiba. Kembang telon di keranjang. Keranda berarak. Kami menapak menuju pekuburan.
”Jangan menjelek-jelekkan bapak!”
”Bapakmu itu, laki-laki brengsek. Simbah tidak pernah dibuat bahagia. Justru sengsara. Dia menantu yang paling keterlaluan.”
”Aku tahu bapak selingkuh, tapi...”
”Simbah kasian pada kamu, juga pada ibumu. Harta bapakmu terhambur-hambur, itu semua lari ke tempat maksiat. Judi, minum arak, main wanita. Bapakmu salah memilih teman. Mereka cuma bisa menghabiskan harta bapakmu.”
”Bu, atiku wis lara, aja diterusna.....”
”Bagaimana kalau aku sudah tidak ada? Siapa yang akan melindungi kamu, anakku?
”Ibu! Jangan bilang seperti itu. Ibu akan tetap menemaniku”
”Ibu sedih memikirkan suamimu. Dia akan membuatmu dan cucuku sengsara.”
”Mbah, berhenti menghina bapak!!”
” Nok, minta maaf pada simbah. Tidak sepatutnya kamu bicara kasar padanya!”
” Mbah keterlaluan sih, bu..”
” Ayo cepat minta maaf”
”Aku berangkat dulu”
” Sinok!”
Sekarang masa kanakku sudah berlalu. Aku menjadi remaja yang beranjak dewasa, sudah mengenal cinta, khianat dan pura-pura, dan mengerti peliknya masalah rumah tangga. Aku sudah jadi gadis berusia lima belas. Aku paham semuanya, ketika Simbah sering murung semenjak bapak membuka cafe baru. Cafe melati. Simbah tidak setuju dari awal. Karena menu cafe adalah minuman keras, life dangdut music dengan biduan-biduan seksi dan nakal. Mbah berfirasat buruk kalau cafe itu hanya akan menghancurkan keluargaku.
Dan benar, bapakku kena tipu. Cafenya bangkrut karena piutang atas pembelian bir, senilai seratus  juta, dibayar dalam bentuk cek. Cek itu kosong dan bapak kehilangan modal. Untuk melanjutkan cafe, ia pinjam rentenir karena utangnya di Bank pun belum lunas. Harapan bahwa cafe akan memberi pemasukan yang lebih untuk membayar utang rentenir berujung di nol besar. Cafe sepi pengunjung, karena dicekal warga dan ulama sekitar. Giliran ada pengunjung, itu cuma teman-teman bapak yang licik. Mereka makan dan minum tanpa bayar. Bon, katanya. Bon berkali-kali tanpa ada pelunasan. Aku sedih melihat bapak: bangkrut dan ditagih rentenir sana-sini, sampai-sampai polisi pun menyegel rumah kami.

***

Kami tiba di pekuburan. Simbah dimakamkan dengan hikmat. Aku menciumi wajahnya, masih seperti dulu: tenang dan ayu.
Keranda dibuka. Simbah dipulangkan ke tanah. Kembang telon ditaburkan di atasnya. Kali ini, Masmaut tidak berbisik, tapi bicara: kamu terlambat pulang. Tapi aku percaya, simbah membawa serta kenangan-kenangan itu, terutama peristiwa terakhir itu. Aku janji, Mbah, aku akan mengembalikan bapak ke asal mula hatinya, yaitu ibu. Percaya kan Mbah? ****

Jumat, 01 April 2011

Parade Teater Pelajar Dan Mahasiswa 2011 "Teater Semut Kendal"

PARADE TEATER PELAJAR DAN MAHASISWA 2011

KETENTUAN PARADE TEATER PELAJAR DAN MAHASISWA 2010
1. Peserta adalah kelompok Teater Pelajar (tingkat SLTP dan SLTA) / Mahasiswa yang ada di wilayah Kabupaten Kendal.
2. Peserta diwajibkan untuk mengisi formulir pendaftaran yang sudah disediakan oleh panitia.
3. Peserta bebas memilih naskah, baik naskah karya sendiri ataupun orang lain.
4. Bentuk pementasan bebas (dalam batas-batas kesopanan)
...5. Jumlah anggota masing-masing kelompok maksimal 15 orang (termasuk sutradara dan kruw), Selebihnya dikenakan biaya tiket masuk
6. Durasi pertunjukan minimal 30 menit, maksimal 120 menit.
7. Peserta menyerahkan foto copy naskah pada saat pendaftaran.
8. Pendaftaran mulai tanggal 14 Februari 2011-17 April setiap hari Senin-Jum’at pukul 09.00.-17.00 di Sekretariat Teeter Semut, ”Jl.Masjid Gg.Rajin No. 9 Pekauman Kendal, Telp. 0294 382094”, dimohon untuk dapat menghubungi panitia terlebih dahulu, Yuyun (085325051221) Rika (081326579071) .
9. Membayar uang pendaftaran sebesar Rp.100.000,-
10. Pelaksanaan kegiatan pada tanggal 7 – 22 Mei 2011 Di Balai Kesenian Remaja Kendal (BKR), belakang GOR Bahurekso Kendal.
11. Ketentuan lain akan dibahas dalam tekhnikal meting pada hari Minggu, tanggal 17 April 2011, jam 09.00 BBWi di Gedung Balai Kesenian Remaja Kendal, belakang GOR Bahurekro Kab. Kendal.